Kompas Minggu kemarin (24/Januari/2010), memaparkan rubrik Psikologi yang rada mengejutkan saya, yaitu gaya hidup pasangan di Jakarta (setidaknya itu yang saya ingat), ada yang memang tidak menghendaki anak. Dengan demikian, paradigma saya tentang kesederhaaan kehidupan adalah masalah membesarkan anak, menjadi tidak relevan adanya.
Itu tidak terbayang sama sekali bagi saya. Sejauh yang terbayang, adalah keinginan mendapatkan keturunan, tapi tidak terwujud. Sehingga, tidak memiliki anak, bukanlah pilihan. Melainkan keadaan yang memaksa. Kompleksitas kehidupan manusia memang tidak terbayang sama sekali, meski semakin lama saya semakin belajar : tidak selamanya hal yang benar itu benar, perubahan sudut pandang, bisa merubah persepsi yang didapat, sehingga yang benar menjadi tidak benar lagi.
Saya jauh dari kehidupan karir, dengan segala tuntutan pengorbanannya. Jenjang kerja, tanggung jawab instansi, kerjasama antar departemen, tugas dinas, lembur kerja beserta iming-iming tunjangan2 yang disediakan, terasa asing, sehingga tidak mempengaruhi gaya hidup dan pemikiran saya. Mungkin jika saya berada di dunia tersebut, saya akan mampu membayangkan kehidupan tanpa anak adalah pilihan, dimana membenamkan diri pada pekerjaan adalah keniscayaan.
Hanya, yang saya nilai, seseorang yang memilih tidak memiliki anak, akan kehilangan ini, doa seorang anak kepada orang tuanya : "Rabbighfirlii wali walidayya, warhamhuma kamaa rabbayani saghira - Ya Tuhan, ampunilah aku dan ampuni kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka, sebagaimana mereka menyayangi aku saat aku masih kecil"
Semoga bermanfaat!
NB:
- Juga, mengamati tumbuh kembang anak, adalah suatu keajaiban :)
No comments:
Post a Comment